//
anda sedang membaca...
Kabar Kalimantan, Konflik resolusi, Masyarakat Adat

Transparansi Spasial untuk Perlindungan dan Pengakuan Wilayah Kelola Masyarakat Adat di Tayan Hilir

Peta Hasil Drone Kawasan Hutan diajukan sebagai Hutan Adat Desa Subah.Foto : Swandiri

Peta Hasil Drone Kawasan Hutan yang Akan Diajukan
Sebagai Hutan Adat Desa Subah
. Foto : Swandiri

Kecamatan Tayan Hilir di Kalimantan Barat memiliki luas 119.502,25 Ha, sebagian besar wilayahnya masuk dalam peta perizinan kelapa sawit dan pertambangan. Masyarakat lokal di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ini sebagian besar merupakan komunitas Dayak Tobak yang menggantungkan hidup dari kawasan hutan dan sumber daya alam di lingkungan adat mereka. Minimnya informasi spasial yang legal terkait konsesi menjadikan masyarakat lokal tak berdaya wilayahnya ‘dikuasai’ pemegang konsesi.

Terungkap dalam kegiatan workshop perencanaan masyarakat terkait usulan hutan adat 14-15 February 2015 lalu, masyarakat 2 Desa di Tayan Hilir mengajukan kawasan-kawasan kelola dan kawasan sumber kehidupan sebagai kawasan hutan adat. Workshop dengan tajuk Transparansi Spasial dalam Mendorong Perlindungan dan Pengakuan Wilayah Kelola Masyarakat Adat dan Lokal di Kecamatan Tayan Hilir diikuti 12 (duabelas) peserta perwakilan dari Desa Sejotang (6 orang) dan Desa Subah 6 (enam) orang. Juga diikuti kepala desa dari dua desa tersebut.

Happy Hendrawan dari Swandiri Institute memaparkan masyarakat adat – khususnya yang berada di Desa Sejotang dan Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau – memiliki pilihan dalam melindungi dan mengelola wilayah adat mereka.

“Berdasarkan data yang diperoleh, Tayan Hilir menjadi salah satu pusat eksploitasi pertambangan dan pembukaan perkebunan sawit di Kabupaten Sanggau, sehingga memerlukan upaya bersama dari segenap pihak, terutama masyarakat adat setempat untuk melindungi dan mempertahankannya,” jelas Happy.

Swandiri Institute bersama Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Tayan Hilir sejak November 2014 telah melakukan kegiatan riset awal dan pemetaan yang hasilnya untuk mendorong perlindungan dan pengakuan wilayah kelola masyarakat adat di Kecamatan Tayan Hilir.

Sekretaris DAD Tayan Hilir, Yulian menegaskan bahwa upaya perlindungan dan pengakuan wilayah adat yang ada di Tayan Hilir, terutama di Desa Sejotang dan Subah, sepenuhnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan DAD maupun Swandiri Institute.

“Pemetaan yang telah dilakukan Swandiri Institute akan dilanjutkan oleh putra-putra daerah Tayan Hilir yang telah dilatih sebelumnya, sehingga pemetaan akan berlangsung secara mandiri oleh warga,” terangnya.

Dalam paparan hasil pemetaan di Desa Sejotang dan Subah. Desa Sejotang, terutama di Dusun Batu Besi dan Semenduk, yang rencananya akan diajukan sebagai wilayah hutan adat di Desa Sejotang. Menurut informasi yang diperoleh, daerah tersebut sudah masuk ke dalam wilayah konsesi pertambangan dan perkebunan sawit.

Hasil pemetaan yang telah dielaborasi lebih lanjut pada peta yang didapat menggunakan Wahana Tanpa Awak (Drone), dengan peta konsesi pertambangan melalui aplikasi Sistem Informasi Geografi. Menunjukkan bahwa “danau buatan” tersebut berada di luar wilayah konsesi. Jika dibandingkan dengan citra satelit Danau Semenduk pada tahun 2010, tampak sekali perbedaan kondisi danau tersebut.

Aktivitas pertambangan telah mengakibatkan Danau Semenduk yang merupakan sumber ikan masyarakat Kecamatan Tayan dan sekitarnya rusak. Danau tersebut menjadi tempat pembuangan limbah dan pencucian bauksit, hingga sebagian besar permukaan danau terimbun limbah bauksit yang mengering.

Rencananya kegiatan pemetaan akan kembali dilanjutkan Swandiri Institute untuk mendapatkan hasil peta yang lebih maksimal dan menyeluruh, terutama wilayah yang ditargetkan warga sebagai wilayah hutan adat. Wilayah tersebut yang targetnya dapat dilepaskan dari wilayah konsesi perusahaan dan Area Penggunaan Lain (APL). Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 bisa menjadi landasan untuk mempertahankan wilayah adat ini.

“Sebagai informasi, APL merupakan otoritas kepala daerah, sehingga kita dapat mengajukan pada Bupati Sanggau mengenai usulan pemisahan wilayah-wilayah adat yang berada di dalam kawasan APL. Hutan adat merupakan hak masyarakat yang sepenuhnya harus dikembalikan pada masyarakat,” ungkap Arif Munandar, fasilitator kegiatan dari Swandiri Institute.

Selain dengan peta, yang harus dilakukan juga adalah melengkapi data-data sosial – terutama sejarah – sebagai referensi pendukung. Peta yang digunakan bukanlah peta administrasi negara, melainkan peta adat berdasarkan wilayah adat, karena wilayah adat tidak dibatasi oleh wilayah administrasi desa.

Hasil kegiatan workshop berupa usulan hutan adat masyarakat Tayan Hilir telah diteruskan ke komisi B DPRD Kabupaten Sanggau pada 26 Mei 2015 dan audiensi ke Bupati dan mendapat apresiasi dan dukungan dari keduanya.

About Samdhana

The Samdhana Institute was formed in 2003 by a group of individuals, conservationist, development practitioners, constituting the first Samdhana Fellows: moved by the same commitment of 'giving back' that they know to the next generation;and bringing together skills, knowledge, experiences, networks, colleagues and friends; delivering maturity, strength and sustainability. The Samdhana Institute is a non-profit organization with an office in Indonesia and a Regional base in the Phillippines for Southeast Asia. The Samdhana Institute offers and institutional home and community for those who wish to reduce their time devoted to institutional needs and give more time and energey assisting the next generation of development and conservation practitioners.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar