//
anda sedang membaca...
Agraria, Konflik resolusi, Perubahan Iklim

Kebijakan Penguasaan Tanah dan Hutan di Indonesia

Aktifitas pemetaan wilayah kelola di Kampar Kiri, Riau. Foto : YMI

Aktifitas pemetaan wilayah kelola di Kampar Kiri, Riau. Foto : YMI

Puluhan tahun terakhir, Indonesia dan negara berkembang lain telah mengalami berbagai dinamika terkait hubungan sosial akses lahan sumber daya alamnya (tenurial). Namun, proses panjang tersebut, belum berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Pada tingkat tapak, masih sulit menemukan cara tepat untuk menyelaraskan kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Pada 5 agustus lalu, para pihak dari beragam latar belakang mendiskusikan lahan, sumber daya alam dan reformasi penguasaannya di Indonesia.

Acara yang digagas pusat penelitian kehutanan dunia (CIFOR) tersebut menghadirkan berbagai perspektif dari kalangan pemerintah: diantaranya kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) yang mengedepankan target 12,7 juta hektar hutan untuk dikelola masyarakat; kementerian agraria dan tata ruang (Kemen-ATR) dengan program percepatan penanganan sengketa dan pengakuan hak, sertifikasi lahan, juga upaya mendorong peraturan presiden untuk reforma agrarian dan bank tanah.

Myrna Safitri dari Epistema Institute mengatakan berbagai program pemerintah tersebut belum memberikan jaminan keamanan tenurial. Myrna memaparkan upaya yang telah dilakukan masih lemah dalam melindungi hak, terlebih dalam aspek penanganan pengaduan, resolusi konflik dan kompensasi bagi pemegang hak. Antara kebijakan dan fakta empiris di lapangan masih jauh jaraknya, ungkap Myrna. Ia lalu mempertanyakan sejauh mana legitimasi instrument legal tersebut.

Senada dengan Myrna, Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melihat kebijakan dan pemerintahan belum berpihak pada komunitas adat. Abdon menyampaikan pihaknya telah berupaya untuk menjembatani di tingkat tapak dengan menggunakan peta partisipatif sebagai alat untuk pengakuan.

“Sekitar 2,6 juta hektar wilayah adat telah dipetakan dan diserahkan datanya ke KLHK. Hingga tahun 2020, sekitar 40 juta hektar wilayah akan dipetakan”, ujar Abdon.

Di tingkat sub-nasional, persoalan lebih mengerucut ke aspek pelaksanaan kebijakan hingga ke tingkat tapak. Di Maluku misalnya, Azzam Bandjar, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku mengeluhkan lemahnya kapasitas dalam perpetaan. Padahal, peta merupakan alat yang sangat krusial untuk menata ruang hutan, pungkas Azzam.

Di Lampung yang lebih maju tenurial hutannya, kini menghadapi tantangan pelimpahan kewenangan pemerintah daerah, buah UU 23/2014. Undang-undang tersebut berdampak pada sektor kehutanan, yang ditarik kewenangan kabupaten/kota menjadi urusan provinsi.

Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Balitbanghut) menunjukkan di Lampung banyak pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat yang telah terjadi turun-temurun. Tak Cuma untuk pemukiman, bahkan fasilitas umum, komersial dan gedung pemerintah telah berdiri di kawasan hutan. Berbagai skema perhutanan sosial diharapkan dapat mengurangi potensi konflik tenurial, di kawasan yang terlanjur diduduki tersebut. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) diharapkan dapat lebih responsif terhadap keterlanjuran tenurial dengan memberikan pendampingan kepada masyarakat agar sejahtera dan tetap mempertahankan hutan sesuai fungsi utamanya.

Persoalan konflik masyarakat dengan perusahaan konsesi juga mewarnai diskusi. Kajian Ecosoc menunjukkan bahwa pelanggaran HAM di berbagai konsesi perkebunan sawit masih ditemukan. Ecosoc juga menyoroti persoalan tumpang tindih perizinan. Konsep plasma perkebunan juga dilihat Ecosoc sebagai kedok dalam memperbudak masyarakat sebagai petaninya.

Model perpindahan penduduk juga memberi pengaruh terhadap penguasaan lahan. Gamma Galudra dari pusat penelitian Wanatani Internasional (ICRAF) menyatakan bahwa tata kuasa lahan tidak selalu budaya asli setempat. Warga pendatang dengan keterampilan serta daya juang tertentu sangat mungkin mengubah tata kuasa lahan. Gamma menekankan bahwa perhutanan sosial hendaknya memperhatikan aspek pengelolaan hutan yang terbentuk oleh budaya yang dinamis. Perhutanan sosial juga tidak dapat dianggap homogen, karena sangat tergantung pada hubungan masyarakat terhadap lahan serta pengelolaannya, lanjut Gamma.

Angka 12,7 juta hektar target akses kelola rakyat terhadap hutan menjadi pisau bermata dua, sebagai peluang sekaligus tantangan. Penyelesaian konflik di berbagai lokasi hingga pemerataan kesejahteraan menjadi tujuan dari perhutanan sosial. Namun begitu, aspek kapasitas serta dinamika politik nasional maupun daerah sangat berpengaruh kuat terhadap pencapaian target tersebut. Peta indikatif arahan perhutanan sosial, serta penyederhanaan mekanisme perizinan bagi perhutanan sosial diharapkan menjadi pendorong capaian target.

Persoalan tenurial, tidak semata berada di aspek politik dan tata kelola. Sinergi antara kebijakan dan penerapan hingga ke tingkat tapak diperlukan, untuk mewujudkan hutan yang lestari dan masyarakat sejahtera.

About Samdhana

The Samdhana Institute was formed in 2003 by a group of individuals, conservationist, development practitioners, constituting the first Samdhana Fellows: moved by the same commitment of 'giving back' that they know to the next generation;and bringing together skills, knowledge, experiences, networks, colleagues and friends; delivering maturity, strength and sustainability. The Samdhana Institute is a non-profit organization with an office in Indonesia and a Regional base in the Phillippines for Southeast Asia. The Samdhana Institute offers and institutional home and community for those who wish to reduce their time devoted to institutional needs and give more time and energey assisting the next generation of development and conservation practitioners.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar